Pada materi kuliah 6 kita sudah membahas secara sepintas potensi, permasalahan, dan solusi pertanian lahan kering dan pariwisata dari aspek sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial budaya. Kita juga sudah menyinggung corak penghidupan masyarakat lahan kering kepulauan yang dicirikan oleh perladangan tebas bakar, peternakan lepas, perikanan pantai dan pesisir. Pada materi ini kita akan membahas corak penghidupan perladangan tebas bakar serta berburu dan mengumpulkan hasil. Pembahasan akan kita lakukan mencakup aspek fisik-kimia, hayati, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial budaya secara sekaligus. Pembahasan mengenai corak penghidupan peternakan lepas dan perikanan pantai dan pesisir akan kita lakukan pada materi kuliah 8 dan materi kuliah 9. Silahkan terlebih dahulu membaca materi kuliah membaca pustaka yang saya berikan melalui link dan melalui pustaka.
7.1. MATERI KULIAH
7.1.1. Membaca Materi Kuliah Ringkas
Potensi Perladangan Tebas Bakar serta Berburu dan Mengumpul
Jika Anda pernah melakukan perjalan di pedalaman pulau Timor pada malam hari akhir musim kemarau, Anda akan mendapatkan pertunjukkan api menyala di lereng dan puncak bukit di mana-mana. Jika Anda melakukan perjalan pada musim hujan, Anda akan menemukan ladang yang ditanamami beraneka jenis tanaman dalam satu bidang. Memasuki musim kemarau, ke manapun Anda melakukan perjalanan akan selalu ditemani dengan padang gersang di mana-mana. Itu semua terjadi karena masyarakat di Pulau Timor sampai sekarang masih melakukan perladangan tebas bakar (slahs-and-burn-cultivation, swidden agriculture). Perladangan tebas bakar mirip tetapi tidak sama persis dengan perladangan berpindah (shifting cultivation), yang juga dilakukan dengan membakar, dengan lokasi yang berpindah secara berotasi maupun secara acak. Perladangan tebas bakar dapat dilakukan secara berpindah, tetapi juga pada tepat yang menetap. Meskipun sejak 1950 seorang peneliti Belanda, F. J. Ormeling, dalam bukunya: The Timor Problem: A Geographical Interpretation of an Underdeveloped Island, sudah menyebutkan bahwa perladangan tebas bakar menimbulkan berbagai permasalahan. Pemerintahan ORLA berganti ORBA, ORBA berganti Reformasi sampai sekarang, perladangan tebas bakar tetap saja masih berlangsung. Fakultas Pertanian Undana sudah berdiri sejak awal 1980-an, tetapi berapa banyak dosen dan mahasiswa yang memberikan perhatian terhadap perladangan tebas bakar?
Gambar 7.1. Ke manapun Anda pergi di Pulau Timor pada musim kemarau, akan bertemu dengan kepulan asap pembakaran lahan untuk membuka perladangan tebas bakar |
Bagi masyarakat, perladangan tebas bakar adalah corak penghidupan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang mereka lakukan. Lahan di Pulau Timor pada umumnya dikuasai secara adat (lahan komunal, communal land) dan kelembagaan adat memberikan kepada masyarakat dalam lingkungan wilayah adatnya untuk memanfaatkan lahan adat di bawah kekuasaannya. Karena faktor geologi Pulau Timor yang berasal dari bawah permukaan laut yang kemudian terangkat maka kondisi lahannya pada umumnya berbatu karang dan berkapur. Selain itu, Pulau Timor beriklim kering karena posisi geografiknya yang dekat dengan benua Australia yang kering dan berada pada ujung paling Timur rangkaian pulau-pulau Nusa Tenggara, sehingga pada musim hujan hanya dapat sisa dari hujan yang dibawa oleh angin Barat yang sudah terlebih dahulu turun di pulau-pulau bagian Barat. Maka untuk pulau dengan keadaan lahan dan iklim yang demikian, perladangan tebas bakar merupakan sistem pertanian yang adaptif. Masyarakat membuka lahan pada musim kemarau, membakar pada akhir musim kemarau untuk memperoleh abu yang digunakan untuk menyuburkan tanaman, dan segera menanam begitu hujan mulai turun. Salah waktu tanam berarti tanaman dapat menghadapi kekeringan. Hujan terlalu lebat dapat menyebabkan produksi tanaman menurun.
Lahan memang tersedia luas, tetapi potensinya juga bergantung pada musim hujan yang diperlukan turun tepat waktu dalam jumlah yang tepat. Menghadapi risiko demikian, petani perladangan tebas bakarmembudidayakan beraneka jenis tanaman bukan hanya dalam satu bidang lahan, melainkan juga dalam satu lubang tanam. Pola pertanaman seperti ini merupakan pola pertanaman tumpang sari tradisional yang bertujuan mengurangi gagal panen, tetapi diolok-olok sebagai "salome" (satu lubang reme-rame). Benih yang ditanam dalam satu lubang biasanya adalah jagung (Zea mays), labu (Cucurbita moschata), dan jenis kacang melilit (kacang nasi Vigna umbellata atau kacang tunggak Vigna unguiculata subsp. unguiculata). Pola pertanaman ini mirip dengan pola tres hermanas (the three sisters) di negeri Amerika Tengah, negeri asal tanaman jagung, labu, dan aneka kacang, tetapi jenis kacang melilit yang digunakan di sana berbeda. Sebelum kedatangan jagung yang dibawa oleh penjajah Portugis, aneka biji yang dibudidayakan pada perladangan tebas bakar adalah padi ladang, jali (Coix lacryma-jobi), jawawut (Setaria italica), dan sorgum (Sorghum bicolor). Aneka jenis kacang yang juga dibudidayakan adalah kacang kratok (Phaseolus lunatus), kacang gude atau kacang turis (Cajanus cajan), kacang hijau (Vigna radiata), dan kacang pedang (Canavalia ensiformis), dan kemudian juga kacang tanah (Arachis hypogaea). Juga ditanam anke umbi, seperti ganyong (Canna discolor), suweg (Amorphophallus paeoniifolius), aneka uwi (Dioscorea spp., terutama D. alata, D. bulbifera, D. esculenta, dan D. pentaphylla), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan kemudian ubi kayu (). Tanaman aneka umbi biasanya dipanen pada saat akan dikonsumsi, tidak dipanen untuk disimpan, sehingga memungkinkan petani perladangan tebas bakar berlumbung di ladang. Ketika pemerintah melakukan pembangunan pertanian untuk menjadikan pertanian semakin maju, cara yang dilakukan masyarakat harus diubah menjadi monokultur.
Mengapa menjadi sangat bergantung pada hujan, apakah tidak tersedia mata air dan sungai yang dapat dijadikan sumber air irigasi? Di Pulau Timor terdapat banyak mata air, banyak di antaranya dengan debit yang cukup besar. Sungai-sungai besar juga banyak, tetapi karena bagian hulunya gundul akibat dari perladangan tebas bakar yang dilakukan secara turun temurun maka debit air sungai sangat besar pada musim saat hujan dan menjadi menurun dengan cepat segera setelah hujan reda. Sungai menjadi liar dan fiktif. Liar karena air yang besar pada saat hujan lebat dapat dengan mudah mengubah badan alirannya, fiktif karena pada musim kemarau banyak di antaranya menjadi kering. Maka ketika kemudian terpikir untuk membangun irigasi setelah masyarakat berkenalan dengan sistem pertanian menetap, mencari tempat untuk membangun bendungan menjadi tidak mudah. Karena sudah terbiasa mengandalkan perladangan tebas bakar dari generasi ke generasi, masyarakat juga tidak dapat begitu saja berubah ke pertanian beririgasi yang dibudidayakan secara menetap. Maka meskipun mempunyai lahan sawah, masyarakat tetap memuka ladang tebas bakar pada musim kemarau. Pengundulan lahan terus meluas dan sungai-sungai pun menjadi semakin banyak kehilangan sumber pasokan airnya, yaitu kawasan hutan yang terus berkurang.
Kawasan hutan yang terus berkurang juga berari berkurangnya cokal penghidupan lain yang berhubungan erat dengan perladangan tebas bakar, yaitu berburu dan mengumpul. Dalam hal ini berburu berarti menangkap satwa liar dan mengumpul berarti mengambil tumbuhan hutan, terutama sebagai bahan makanan, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, juga bisa untuk dijual. Dalam bahasa kekinian, satwa liar yang diburu dan tumbuhan yang diambil dari hutan tanpa harus menebang pohon dikenal sebagai hasil hutan hukan kayu (HHBK, non-tiber forest products). Sebagai contoh adalah mengambil madu lebah pohon Apis dorsata yang membuat sarang menggantung pada cabang pohon-pohon besar, lebah lubang Apis cerana yang membuat sarang pada lubang pohon atau lubang kayu, mengumpulkan aneka jenis uwi liar Dioscorea spp. (terutama D. alata, D. bulbifera, D. esculenta, dan D. pentaphylla yang tidak beracun dan D. hispida yang beracun), aneka jenis pakis (pakis sayur Diplazium esculentum, pakis udang atau lemidi, atau midin Stenochlaena palustris, dan pakis royal Osmunda regalis), buah dan pucuk markisa hutan atau rambusa Passiflora foetida, buah arbei hutan Rubus rosifolius, dan sebagainya. Pada era kepemimpinan tradisional, kawasan hutan tertentu dikeramatkan untuk dipanen hanya oleh kalangan pemimpin tradisional. Pada era kepemimpinan modern, kawasan hutan dilindungi sebagai cagar alam, taman nasional, dan sebagainya. Tetapi perlindungan kawasan hutan dalam era kepemimpinan modern tidak selamanya bisa melestarikan hutan karena berbagai alasan, termasuk asalan pagar makan tanaman.
Permasalahan Perladangan Tebas Bakar
Permasalahan pertanian tebas bakar terjadi bukan karena sistem pertanian itu sendiri, tetapi terutama karena pertambahan jumlah penduduk. Ketikam penduduk masih sedikit, lahan yang dibuka untuk perladangan tebas bakar dapat diistirahatkan selama 3-5 musim hujan sebelum dibuka kembali. Selama 3-5 musim hujan tidak dibuka untuk ditanami, lahan dapat memulihkan kesuburannya. Ketika jumlah penduduk terus bertambah karena setiap pasangan orang tua mempunyai lebih dari 2 orang anak maka lahan yang perlu dibuka menjadi semakin luas, sedangkan lahan yang tersedia tidak pernah bertambah. Akibatnya, lahan yang baru diistirahatkan selama 1-2 tahun sudah harus dibuka kembali. Selama waktu yang singkat, lahan belum dapat memulihkan kesuburannya. Akibatnya produksi menjadi menurun. Semakin jumlah penduduk bertambah maka semakin lahan tidak pernah dapat beristirahat, semakin kesuburannya berkurang, dan semakin produksinya berkurang. Suatu saat nanti ketika jumlah penduduk sudah sedemikian banyak sebagaimana di daerah lainnya di luar NTT, tidak ada lagi lahan yang bisa diistirahatkan. Dalam keadaan demikian mungkin perladangan tebas bakar akan tidak bisa dilakukan lagi. Tapi pada saat itu, kesuburan tanah mungkin sudah sangat rendah sehingga menjadi sangat sulit untuk memulihkannya.
Sistem perladangan tebas bakar itu sendiri tidak dengan sendirinya merusak. Bahkan bisa sebaliknya, perladangan tebas bakar dapat menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity) tanaman karena dalam perladangan tebas bakar selalu dibudidayakan beberapa jenis tanaman sekaligus secara bersama minimal dalam satu bidang lahan, kalau bukan dalam satu lubang tanam. Jenis tanaman yang dibudidayakan selalu melibatkan jenis legum, yaitu tanaman yang akarnya dengan bantuan bakteri bintil akar (root-nodule bacteria) dapat memfiksasi nitrogen (N) menjadi dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Beraneka jenis tanaman yang dibudidayakan secara bersama-sama dapat menyediakan perlindungan bagi beraneka organisme yang bisa menjadi musuh alami (natural enemies) bagi jenis-jenis organisme pengganggu tumbuhan golongan hewan, patogen, maupun gulma. Perladangan tebas bakar juga melibatkan jenis-jenis tanaman dengan pertumbuhan cepat sebagaimana misalnya labu sehingga dapat melindungi tanah dari erosi dan menghambat pertumbuhan gulma. Semua ini, jika disertai dengan waktu istirahat lahan (fallow) yang cukup, dapat menjadikan perladangan tebas bakar tidak memerlukan pupuk kimia untuk mengembalikan kesuburan tanah dan tidak memerlukan pestisida kimiawi untuk melindungi tanaman dari organisme pengganggu tanaman. Dan yang juga tidak kalah penting, tetap dapat memberikan hasil panen jika satu jenis tanaman mengalami gagal panen.
Namun agar perladangan tebas bakar tidak menjadi merusak, selain lahan diberi waktu yang cukup untuk beristirahat. Namun karena dilakukan pada lahan comunal, yang secara umum dikenal sebagai milik umum (the commons), setiap orang berusaha memanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga terjadi apa yang disebut tragedi milik umum (tragedy of the commons). Untuk mencegah pemanfaatan milik umum berakhir dengan bencana, diperlukan kelembagaan dan kepemimpinan yang memadai sebagaimana diuraikan oleh pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi, Elinor Ostrom, dalam bukunya Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Sebagai contoh adalah kepemimpinan adat dan agama wilayah tertentu di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, yang mendorong masyarakat untuk memulihkan kesuburan lahan dengan menanam lamtoro, sebagaimana diuraikan dalam disertasi Metzner, yang kemudian diterbitkan sebagai buku. Contoh lainnya adalah kepemimpinan adat di wilayah Amarasi sebelum dimekarkan menjadi empat kecamatan yang ada sekarang di Kabupaten Kupang, Pulau Timor, yang menjelang kemerdekaan mewajibkan masyarakatnya menanam lamtoro untuk mengembalikan kesuburan lahan dan menjadikan bahan pakan ternak sapi. Namun tidak semua kepemimpinan adat visioner. Selain itu, setelah pemerintahan beralih dari sistem pemerintahan adat ke pemerintahan modern, atas nama modernisasi pertanian, lahan kering diperlakukan sama dengan lahan basah. Pertanian modern diintroduksi dalam sistem pertanaman monokultur diintroduksi disertai dengan penggunaan benih unggul, pupuk kimiawi, dan pestisida kimiawi, tanpa terlebih dahulu diawali dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat petani.
Demikian juga dengan pelestarian kawasan hutan yang dilakukan dalam era kepemimpinan modern. Kawasan hutan yang dillindungi sering ditetapkan begitu saja tanpa mengajak masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk bermusyawarah. Bahkan kawasan hutan yang dilindungi diberi nama dengan menggunakan nama orang yang bukan merupakan tokoh yang dalam era kepemimpinan tradisional melakukan perlindungan kawasan hutan yang bersangkutan. Contohnya adalah Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johannes di daerah Amarasi, yang dinamai bukan dengan nama tokoh yang dahulu berjasa melestarikan kawasan hutan tersebut. Akibatnya, masyarakat di sekitar kawasan menjadi kehilangan ikatan ekosional dengan kawasan sehingga meskipun dilarang, tetap saja merambah kawasan untuk berbagai tujuan. “What’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Itulah kalimat yang sangat populer dari drama romantis-tragedi mahakarya William Shakespeare, “Romeo and Juliet”. Shakespeare ingin mengatakan, bunga mawar itu kalaupun diberi nama lain, wanginya akan tetap sama. Tapi bagi masyarakat lokal, nama itu penting. Pada jaman modern, nama menjadi semakin penting. Bagi kalangan ilmiah nama juga penting sehingga setiap mahluk hidup diberi nama ilmiah.
Solusi terhadap Permasalahan Perladangan Tebas Bakar
Solusi untuk mengatasi masalah perladangan tebas bakar sudah dilakukan. Sejak awal kemerdekaan sampai sekarang, pemerintah sudah menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan teknologi sebagai solusi. Melalui peendekatan perundang-undangan, pemerintah kabupaten ada yang menetapkan peraturan daerah untuk melarang perladangan tebas bakar. Berbagai macam teknologi budidaya modern juga telah diintroduksi, termasuk penggunaan benih unggul, pupuk kimiawi, dan pestisida kimiawi. Embung, bendung, dan bedungan juga dibangun, agar semakin luas lahan yang terjangkau prasarana irigasi teknis. Pemerintah luasr negeri dan LSM juga ikut berpartisipasi, mengintroduksi sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan seperti misalnya sistem pertanian konservasi (conservation agriculture), tanam lorong (alley cropping), dan sebagainya. Tetapi masyarakat petani melaksanakannya selama projek masik berjalan. Begitu projek selesai, masyarakat kembali mengalunkan lagu lama, mempraktikkan perladangan tebas bakar.
Mengapa solusi pertanian modern yang diberikan tersebut tidak bisa mengubah sistem tradisional? Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa sangat panjang. Tetapi sebenarnya kembali ke soal kelembagaan dan kepemimpinan. Kelembagaan dan kepemimpinan tradisional memang tidak semuanya mempunyai wawasan jauh ke depan, tetapi kelembagaan dan kepemimpinan modern justru jauh dari masyarakat. Apalagi kepemimpinan sejak era pemilihan langsung, pada umumnya mereka dekat dengan masyarakat ketika masih menjadi calon. Begitu terpilih, banyak di antara mereka menjadi sangat jauh dari masyarakatnya. Bukan jauh dalam arti jarak dan waktu, melainkan dari segi memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Banyak di antara mereka memahami pertanian sebatas kegiatan bercocok tanam dan memelihara ternak. Padahal pertanian, yang berasal dari kata dasar tani, sebenarnya adalah soal memberdayakan petani (empowering farmers), soal meningkatkan kesejahteraan petani (improving farmers' well-being), dan soal menjaga keberlanjutan agroecosystem (agroecosystem sustainability). Mereka banyak yang gagal paham bahwa kalau produksi meningkat dan harga hasil panen meningkat maka petani dengan sendirinya menjadi sejahtera. Mereka gagal paham bahwa pemasaran hasil pertanian dikuasai oleh pedagang perantara, lebih-lebih jika sarana transportasinya masih kurang memadai.
Masyarakat lahan kering, dan lebih-lebih masyarakat petani yang pada umumnya berpendidikan rendah, berbeda dari masyarakat lahan basah. Petani lahan basah sudah bisa mengembangkan diri sendiri antara lain dengan berorganisasi. Masyarakat lahan kering yang masih beroriantasi kepemimpinan tradisional cenderung menunggu uluran tangan pemerintah. Jika misalnya petani perkebunan rakyat di daerah lahan basah sebagaimana di Jawa, Bali, dsb., sudah bisa membangun perkebunan yang mereka sebut secara autopilot, yang artinya tanpa bantuan pemerintah, masyarakat lahan kering menunggu bantuan pemerintah untuk memperbaiki cara bercocok tanam. Jangankan mengembangkan pertanian secara autopilot, diberikan bantuan pun sering tidak digunakan. Diberikan bantuan benih dan bibit tidak ditanam, diberikan bantuan pupuk tidak digunakan, diberi bantuan pestisida malah digunakan untuk meracuni ikan di sungai. Pernah terjadi pertani di pedalaman, ketika diberi bantuan benih kedelai dan kacang tanah, malah benih dikonsumsi padahak benih diberi pewarna untuk membedakan karena benih perlu diberi perlakuan pestisida sebelum disebarkan kepada petani.
Oleh karena itu, solusi teknologi tidak selalu dapat menimbulkan perubahan. Agar dapat menimbulkan perubahan, solusi teknologi memerlukan dukungan kepemimpinan visioner yang menyediakan diri untuk melayani rakyatnya. Untuk dapat melayani rakyatnya, pemimpin perlu memahami permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Pemimpin yang mau memeahami rakyatnya akan berusaha mengajak para akademisi untuk mengkaji sehingga dapat memberikan permasalahan apa yang perlu diprioritaskan untuk dicarikan solusi, misalnya dengan melibatkan perguruan tinggi setempat untuk memberikan masukan. Namun perguruan tinggi setempat juga perlu memberikan khusus kepada masyarakat di sekitar tempatnya berada, bukan hanya mengejar publikasi ilmiah yang tidak dapat diakses oleh masyarakat petani. Maka sebagai mahasiswa, tanyakan kepada diri Anda, apa yang dapat Anda berikan kepada masyarakat petani dari mana Anda berasal. Tanyakan kepada diri masing-masing, apakah nati menjelang mengakhiri masa studi, ada yang bersedia kembali ke desa asal masing-masing untuk mendampingi petani tebas bakar memperbaiki cara mereka bercocok tanam. Atau, adakah di antara Anda yang nanti mau meneliti permasalahan perladangan tebas bakar sebagai masalah penelitian skripsi?
7.1.2. Mengunduh dan Membaca Pustaka
Silahkan mengunduh pustaka gratis berikut ini dan kemudian membaca bagian yang dicantumkan untuk dibaca untuk memperkaya pemahaman materi kuliah dan mengerjakan laporan kuliah. Setiap mahasiswa wajib membaca pustaka yang berbeda dari yang sudah dibaca pada materi kuliah 6:
- Aweto, A.O. (2012) Shifting Cultivation and Secondary Succession in the Tropics. CABI
- Cairns, M.F. (2015) Shifting Cultivation and Environmental Change: Indigenous People, Agriculture and Forest Conservation. Routledge-Taylor & Francis
- Delang, C.O. & Li, W.M. (2013) Ecological Succession on Fallowed Shifting Cultivation Fields: A Review of the Literature. Springer Netherlands
- Fox, J.J. (1977) Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia. Harvard University Press, baca 1. The Contrast of Economies, 2. The Clash of Economies, dan 3. The Intricate Background of Island Relations
- Metzner, J.K. (1982) Agriculture and population pressure in Sikka, Isle of Flores: A contribution to the study of the stability of agricultural systems in the wet and dry tropics.The Australian National University, baca Chapter 1. Elements of the Sikka ecosystem, Physical characteristics of Central Sikka, Human background, dan Agricultural systems
- Monk, K., de Fretes, Y., & Reksodiharjo-Lilley (1997) The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku, Periplus Editions, baca Chapter Six: People and Society
- Ostrom, E. (2015) Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press
- Palm, C.A., Vosti, S.A., Sanchez, P.A., & Ericksen, P.J. (eds.) (2005) Slash-and-Burn Agriculture: The Search for Alternatives. Columbia University Press.
- Schulte-Nordholt, HG (1971) The Political System of the Atoni of Timor. Springer Netherlands, baca Chapter III. The Kinship System dan Chapter IV. The Religion
- Vel, J.A.C. (2008) Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006, baca: 1. Introduction
Setiap mahasiswa minimal membaca bagian dari salah satu buku di atas untuk dilaporkan melalui Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerhakan Tugas.
7.1.3. Mengerjakan Kuis
Setelah membaca materi kuliah 6 dan materi kuliah 7 serta mengklik tautan dan membaca pustaka serta pustaka yang diberikan pada materi kuliah, setiap mahasiswa wajib mengerjakan kuis secara mandiri untuk mengevaluasi diri dalam memahami kedua materi kuliah:
- Mengerjakan dan Memasukkan Lembar Jawaban Kuis (klik setelah tautan aktif) selambat-lambatnya pada Kamis, 28 Maret 2024 pukul 24.00 WITA;
- Memeriksa Daftar Lembar Jawaban dan Nilai yang Diperoleh (klik setelah tautan aktif) untuk Memastikan Lembar Jawaban Kuis sudah masuk dan memeriksa nilai yang diperoleh.
Pada saat memeriksa daftar lembar jawaban, silahkan periksa sendiri berapa nilai yang Anda peroleh. Bila memperoleh nilai <60 berarti Anda belum memahami materi kuliah sehingga perlu membaca kembali kedua materi kuliah. Mahasiswa yang tidak mengerjakan quiz tidak akan memperoleh nilai untuk setiap quiz yang tidak dikerjakan.
7.2. TUGAS PROJEK
Seluruh mahasiswa wajib mengerjakan tugas projek secara kelompok. Silahkan membuka file daftar kelompok mahasiswa dan kemudian menyimpan file dengan mengklik menu File>Download>Microsoft Excel lalu simpan di komputer masing-masing. Karena jumlah mahasiswa dalam setiap kelompok sampai 11-12 orang, silahkan setiap ketua kelompok membagi kelompok masing-masing ke dalam kelompok 3-4 mahasiswa untuk berdiskusi satu rumah tangga. Setelah melakukan kunjungan pertama dan memperoleh izin melakukan diskusi, silahkan menanyakan hal-hal sebagai berikut sesuai dengan corak penghidupan yang ditugaskan kepada kelompok:
- Sejak kapan mulai menekuni corak penghidupan yang dijalalani dan mengapa tidak beralih ke corak penghidupan lain.
- Bagaimana rumah tangga memperoleh bahan makanan sehari-hari, apakah dengan menghasilkan sendiri atau membeli, dan jika harus membeli apakah penghasilan rumah tangga mencukupi.
- Apa yang menjadi corak penghidupan utama rumah tangga sebagai sumber bahan makanan dan sumber pendapatan, apakah bercocok tanam, memelihara ternak, menangkap ikan, atau melakukan kegiatan lain dan apa yanng menjadi corah penghidupan tambahan
- Tanyakan pada bulan apa sampai bulan apa melakukan kegiatan corak penghidupan utama dan melakukan kegiatan corak penghidupan tambahan dan pada bulan-bulan apa setiap merupakan puncak kegiatan masing-masing serta pada bulan apa sampai bulan apa memperoleh hasil dan pada bulan-bulan apa setiap merupakan puncak memperoleh hasil masing-masing.
- Membuat kalender musiman pelaksanaan kegiatan corak penghidupan dengan menggunakan aplikasi tabel lajur Excel (gen Z "OK gas dan "all in dukung" kalau tidak bisa menggunakan Excel ya harus malu). Buat dengan mengetikkan Bulan pada sel A1 dan nama bulan mulai Januari pada sel A2 dan seterusnya ke bawah lalu mengetikkan Kegiatan Utama pada kolom B, Hasil Kegiatan pada kolom C, Kegiatan Tambahan pada Kolom D, dan Hasil Kegiatan Tambahan pada kolom E. Kemudian mulai pada sel B2 ke bawah, ketik angka skorterendah 0 pada sel yang sesuai dengan bulan di mana kegiatan tidak dilaksanakan, skor 5 pada bulan yang merupakan puncak bulan kegiatan, danskor 1, 2, 3, atau 4 pada bulan-bulan lainnya dengan kegiatan yang mulai bertambah atau skor 4, 3, 2, atau 1 pada bulan-bulan ketika kegiatan sudah akan berkurang. Jika kegiatan berlangsung hanya 1 sampai 2 bulan, tidak semua angka skor perlu digunakan. Skor tertinggi untuk kegiatan tambahan tidak perlu 5, bisa 2, 3, atau 4 sesuai dengan perbandingan tenaga dan waktu yang diperlukan. Lakukan yang sama untuk kolom C2 sampai C13, D2 sampai D13, dan E2 sampai E13. Selanjutnya silahkan blok sel mulai dari sel A1 sampai sel E13 lalu klik menu Insert>Chart>Line Chart untuk membuat untuk menampilkan kalender musiman. Simpan file dengan nama BLKKP_kalendermusim_nomorkelompok
Laporan disampaikan secara daring melalui Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Tugas paling lambat pada Kamis, 28 Maret 2024 pukul 24.00 WITA.
7.3. ADMINISTRASI PELAKSANAAN KULIAH
Setiap mahasiswa wajib menandatangani daftar hadir dan menyampaikan laporan melaksanakan kuliah dan mengerjakan tugas sebagai berikut:
- Menandatangani Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah selambat-lambatnya pada Sabtu, 23 Maret 2024 pukul 24.00 WITA dan setelah menandatangani, silahkan periksa untuk memastikan daftar hadir sudah ditandatangani;
- Menyampaikan Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Tugas selambat-lambatnya pada Kamis, 28 Maret 2024 pukul 24.00 WITA dan setelah memasukkan, silahkan periksa untuk memastikan laporan sudah masuk.
Mahasiswa yang tidak mengisi dan menandatangani Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah dan tidak menyampaikan Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Tugas akan tidak ditetapkan sebagai hadir melaksanakan kuliah pada situs SIADIKNONA.
***********
Hak cipta blog pada: I Wayan Mudita
Diterbitkan pertama kali pada 20 Maret 2024, belum pernah diperbarui
Diterbitkan pertama kali pada 20 Maret 2024, belum pernah diperbarui
Hak cipta selurun tulisan pada blog ini dilindungi berdasarkan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Silahkan mengutip tulisan dengan merujuk sesuai dengan ketentuan perujukan akademik.
Apakah jika pemerintah memberi alat pemotong rumput untuk setiap petani yang seringg melakukan tebas bakar apakah akan mengakibatkan masyarakat tersebut berhenti menggunakan tebass bakar? atau menggunakan teknologi dan tebas bakar?
BalasHapusWalaupun sudah di beri alat pemotong rumput , menurut saya mereka akan tetap membakar rumput" tersebut jika selesai di potong , dan karena keadaan struktur tanah yang bebatuan dan menurut mereka cara tebas bakar ini di anggap lebih efisien dalam membersikan lahan tanpa memikirkan dan mengetahui dampak negatifnya bagi lingkungan.
Hapuskita pernah membahas tentang masalah yang di timbulkan oleh perladangan tebas bakar, namun sampai sekarang metode perladangan tebas bakar itu masih di pakai sampai sekarang, menurut teman" apakah perladangan tebas bakar memiliki manfaat nya sendri atau ada alasan lain sehingga perladangan tebas bakar tersebut masih ada/ digunakan sampai sekarang
BalasHapusAda beberapa alasan mengapa praktik perladangan tebas bakar masih dipertahankan meskipun memiliki dampak negatif. Salah satunya adalah karena kemudahan dan murahnya metode ini dalam membersihkan lahan untuk pertanian baru. Beberapa petani mungkin juga percaya bahwa perladangan tebas bakar dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan melepaskan nutrien dari sisa tanaman yang terbakar. Namun, perlu diingat bahwa manfaat jangka panjang dari praktik ini seringkali tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan. maaf jika salah
HapusBagaimana sistem perladangan tebas bakar yang dilakukan oleh masyarakat di lahan kering kepulauan?
BalasHapusSistem perladangan tebas bakar biasanya dilakukan oleh masyarakat di lahan kering kepulauan karena merupakan metode yang relatif mudah dan murah. Mereka membersihkan lahan dengan membakar vegetasi lama untuk membuat lahan siap ditanami. Namun, ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti erosi tanah dan degradasi lahan serta berkontribusi pada emisi gas rumah kaca.
HapusSistem perladangan tebas bakar yang dilakukan oleh masyarakat lahan kering kepulauan adalah dengan menebang pohon dan dibiarkan batang pohon mengering. Setelah itu para petani membakar pohon yang sudah kering tersebut dan abu sisa pembakaran akan di manfaatkan oleh para petani untuk dijadikan pupuk tanaman. Sistem perladangan tebas bakar ini dilakukan oleh masyarakat lahan kering kepulauan dengan tujuan agar tanah menjadi subur setelah pembakaran dan ada yang melakukan sistem pertanian tebas bakar ini dengan tujuan untuk membuka lahan baru.
BalasHapusBagaimana pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di lahan kering kepulauan?
BalasHapusPemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat di lahan kering kepulauan dengan mengimplementasikan program-program yang mendukung pertanian berkelanjutan, seperti pengembangan irigasi, penyediaan benih unggul yang tahan kekeringan, pelatihan petani tentang teknik pertanian yang efisien, serta akses pasar yang lebih baik melalui pengembangan infrastruktur transportasi. Selain itu, diversifikasi ekonomi dengan memperkenalkan sektor-sektor seperti pariwisata berbasis alam juga bisa menjadi langkah penting.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPemerintah dapat Mengembangkan pertanian dan kesejahteraan ekonomi yang sesuai dengan kondisi lahan kering, seperti budidaya tanaman tahan kering, peternakan hewan yang tahan panas, serta pengembangan perikanan laut dan budidaya ikan air laut. Menyediakan infrastruktur dasar yang memadai, seperti jaringan irigasi, jalan, listrik, dan akses air bersih untuk mendukung aktivitas ekonomi masyarakat.Memberikan bantuan modal, pelatihan, dan pendampingan bagi petani dan nelayan untuk meningkatkan produktivitas dan keterampilan mereka.Mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan untuk meningkatkan nilai tambah produk lokal.
BalasHapusApa kontribusi perladangan tebas bakar dan pengumpulan hasil hutan terhadap degradasi lingkungan di kepulauan Indonesia?
BalasHapusPerladangan tebas bakar dan pengumpulan hasil hutan dapat menyebabkan deforestasi, erosi tanah, serta penurunan kualitas tanah dan air, mengancam keberlanjutan ekosistem dan mata pencaharian masyarakat lokal.
HapusMengapa perladangan tebas bakar masih berlangsung di Pulau Timor meskipun telah ada penelitian dan peringatan tentang dampak negatifnya?
BalasHapusPerladangan tebas bakar masih berlangsung karena merupakan corak penghidupan tradisional masyarakat Pulau Timor dan karena faktor kelembagaan adat yang memberikan hak kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan adat.
HapusPerladangan tebas bakar masih berlangsung di Pulau Timor karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup yang mendesak bagi sebagian penduduk lokal. Meskipun telah ada penelitian dan peringatan tentang dampak negatifnya, upaya untuk mengubah praktik tersebut memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk pendidikan, pelatihan, alternatif penghidupan, dan dukungan pemerintah yang berkelanjutan.
BalasHapusBagaimana pengaruh perladangan tebas bakar terhadap lingkungan dan ekosistem lahan kering di kepulauan?
BalasHapus