Halaman Aktif

Selamat Datang

Belajar Budaya Lahan Kering Kepulauan dan Pariwisata merupakan blog baru untuk mendukung pembelajaran blended learning mata kuliah Budaya Lahan Kering Kepulauan dan Pariwisata yang merupakan mata kuliah universitas bagi mahasiswa Undana. Materi kuliah dalam blog ini disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa prodi Agroteknologi Faperta Undana dalam menykapi permasalahan budaya lahan kering kepulauan dan pariwisiata. Blog ini dibuat hanya untuk kepentingan menyajikan materi kuliah bagi mahasisiwa, bukan untuk memberikan ulasan mendalam mengenai budaya lahan kering kepulauan dan pariwisata. Mohon berkenan menyampaikan komentar dengan mengklik tautan Post a Comment di bawah setiap tulisan.

Rabu, 20 Maret 2024

10. Menapak Perubahan Jaman (1): Menuju Pertanian dan Corak Penghidupan Lainnya secara Berkelanjutan

Orang bijak bilang, :"Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri". Kalau ketika belajar biologi di SMA/SMK Anda pernah belajar mengenai evolusi, mungkin Anda tidak kaget membaca kata-kata orang bijak ini, Begitu juga dengan corak penghidupan, moyang manusia yang neburut teori evolusi berasal dari Afrika mula-mula menjalani corak penghidupan berburu dan mengumpul, kemudian menjinakkan dan mengembalakan ternak secara berpindah (berbeda dengan ternak lepas), sebelum kemudian menemukan lahan subur di Dataran Bulan Sabit di mana mereka belajar bercocok tanam. Pada materi ini kita akan sejenak napak tilas evolusi manusia untuk kemudian membahas bagaimana corak penghidupan tradisional di lahan kering kepulauan menapak perubahan jaman. Kita akan terlebih dahulu membahas perubahan pertanian tebas bakar, peternakan lepas, dan nelayan sambilan menjadi corak penghidupan menetap. Kita akan lanjutkan pada materi kuliah 11 untuk belajar melompat jauh ke depan, mempelajari pengembangan pariwisata.
10.1. MATERI KULIAH

10.1.1. Membaca Materi Kuliah Ringkas
Perubahan Corak Penghidupan
Berapakah umur Anda sekarang? Tentu saja masih muda, masa depan panjang menanti Anda. Untuk menghadapi masa depan, Anda perlu memahami sejarah. Tentu saja bukan harus menghapal nama orang, nama tempat dan tahun sebagaimana yang biasanya diajarkan oleh guru sejarah, tetapi menarik pelajaran berharga yang bisa kita ambil untuk menghadapi masa depan. Mari kita mulai dengan nama galaksi sebagai nama tempat, tanpa nama orang, dan tahun hanya sebagai tahun yang lalu dari sekarang. Materi dan energi mulai ada 13,5 miliar tahun lalu, objek fisika dan kimia mulai ada. Lalu 4,5 miliar tahun lalu planet bumi dan planet lainnya terbentuk, galaksi dan objek astronomi mulai ada. Selanjutnyaa ada nama planet bumi: organisme (mahluk hidup) mulai ada sejak 3,8 miliar tahun lalu, objek biologi mulai ada, tetapi baru sejak 6 juta tahun yang lalu moyang bersama manusia dan simpanse mulai ada. Selanjutnya ada nama manusia dan nama benua: manusia dalam genus Homo pertama mulai ada di Afrika sejak 2,5 juta tahun lalu, membuat peralatan dari batu (stone tools), lalu menyebar ke Eropa dan Asia sejak 2 juta tahun lalu. Lalu kapan nama kita manusia modern mulai ada? Belum lama bagi sejarah evolusi, tapi tentu saja sudah sangat lama dibandingkan dengan umur Anda sekarang. Waktu dalam sejarah bumi dicatat dalam satuan juta tahun, sejarah manusia modern dalam satuan ribu tahun. Manusia modern yang nama ilmiahnya Homo sapiens mulai ada di Afrika baru sejak 200 ribu tahun lalau. Begitulah cerita singkatnya, cerita panjangnya dapat Anda peroleh dari buku Sapiens: A Brief History of Humankind dan ringkasannya panjangnya dari Homo sapiens Part 1: Cognitive Revolution.

Gambar 10.1. Jangka waktu geologi sejarah bumi. Waktu dibedakan menjadi eon, era, periode, dan kala, masing-masing dengan peristiwa utama tertentu. Silahkan kunjungi Skala Waktu Geologi untuk memperoleh penjelasan rinci.Waktu Sumber: National Park Service.

Anda percaya serita di atas? Silahkan membantah kalau tidak percaya, tetapi siapkan bukti bahwa cerita di atas semuanya salah sebelum membantah. Untuk memperoleh bukti Anda mungkin perlu bertanya kepada orang yang tepat atau kepada Google. Untuk bertanya dan kemudian membantah, Anda perlu mampu menggunakan bahasa. Tentu bahasa yang dimengerti banyak orang lain, bukan bahasa yang hanya dimengerti di antara kawan-kawan Anda dalam kelompok. Begitulah yang bisa kita pelajari dari sejarah pengembaraan manusia modern di tanah leluhur bernama Afrika, mereka belajar satu hal penting: menggunakan bahasa (language) untuk menalar (reasoning). Dengan menggunakan bahasa manusia modern bisa memanggil teman-temannya ketika menghadapi binatang buas. Ketika memanggil, mula-mula yang datang mungkin hanya teman-teman dekatnya. Maka untuk memanggil lebih banyak orang, dengan menggunakan bahasa manusia modern mulai mengarang cerita. Bisa dongeng, bisa cerita mistik, bisa juga cerita tentang sesuatu yang adikodrati dan adikuasa. Isi ceritanya bukan mengenai hal yang nyata ada, tetapi dapat menarik lebih banyak orang untuk berkumpul. Cerita seperti itu sekarang kita sebut fiksi (fiction). Fiksi bukan cerita mengenai sesuatu yang nyata, tetapi cerita untuk membuat orang tertarik mendengarkan dan kemudian melakukan sesuatu. Itulah yang dilakukan manusia modern 70 ribu tahun lalu: membuat perubahan mendasar yang sekarang dikenal sebagai Revolusi Kognitif (Cognitive Revolution), perubahan menjadi bisa menalar menggunakan bahasa.

Manusia modern memulai revolusi kognitif setelah 130 mengembara dalam kelompok-kelompok kecil. Manusia pura diperkirakan yang pertama kali melakukan perjalanan panjang pertama keluar dari benua Afrika (The First Migration Out of Africa) pada 1,75 juta tahun lalu. Jauh kemudian, manusia modern menyusul melakukan migrasi keluar Afrika dalam dua gelombang, gelombang pertama memasuki dataran Subur Bulan Sabit (Fertile Crescent) di pesisir barat semenjaung Arab dan antara sungai Euphrate dan sungai Tigris pada sekitar 130-115 ribu sebelum sekarang. Selama mengembara mereka memperoleh makanan dengan mengembangkan corak penghidupan berburu dan mengumpul dan menjinakkan satwa liar untuk diajak mengembara bersama-sama. Mengembara keluar benua tentu membutuhkan bukan hanya keberanian, tetapi pengorganisasian. Apa yang memungkinkan manusia modern mampu berorganisasi? Kembali lagi ke kemampuan menalar menggunakan bahasa tadi. Tanpa kemampuan menalar menggunakan bahasa mungkin manusia modern punah di Afrika karena perubahan iklim pada saat itu membuat tempat mereka mengembara, yang sekarang bernama Gurun Sahara, berubah menjadi padang tandus yang dalam bahasa kita sekarang kita sebut gurun. Kemampuan menalar menggunakan bahasa pula yang memungkinkan mereka, sesampainya di Dataran Subur Bulan Sabit, mulai bercocok tanam. Menghadapi tekanan perubahan iklim yang semakin parah, perjalanan panjang kedua keluar dari Afrika dan gelombang kedua melalui pesisir selatan Semenanjung Arab pada 70-50 ribu tahun lalu, tetapi tanpa melalui Dataran Subur Bulan Sabit, melainkan melalui pesisir semenanjung Arab dan kemudian tiba dan menemukan hutan lebat di Indonesia mungkin sekitar 40-50 ribu tahun lalu. Migrasi kedua keluar dari Afrika yang dilakukan oleh manusia modern dalam dua gelombang dikenal sebagai sebagai teori Keluar Afrika (Out of Africa Theory). Versi panjang cerita ini dapat Anda peroleh buku Sapiens: A Brief History of Humankind dan ringkasannya panjangnya dari omo Sapiens Part 2: The Agricultural Revolution. Perkembangan pertanian di Dataran Subur Bulan Sabit dikenal sebagai Revolusi Pertanian Pertama (juga disebut Revolusi Neolitik).

Gambar 10.2. Perjalanan panjang pertama dan kedua manusia modern keluar dari Afrika. Sumber: Mersha & Beck (2020) 

Gambar 10.3. Lokasi Dataran Subur Bulan Sabit (the Fertile Crescent) pada pesisir barat semenanjung Arabia dan sepanjang aliran sungai Euphrate dan sungai Tigris tempat terjadinya
Revolusi Pertanian Pertama. Sumber: Kerfoot (nd)

Dari Perladangan Tebas Bakar Menuju ke Pertanian dengan Paradigma Baru
Ketika pertama kali bercocok tanam di Dataran Subur Bulan Sabit, manusia modern tidak menemukan hutan lebat sehingga dapat membuka lahan pertanian tanpa melakukan tebas bakar. Tapi manusia modern yang tiba di Indonesia menemukan hutan lebat. Berbekal pengetahuan mengenai penggunaan api dan peralatan batu yang mereka miliki, manusia modern yang tiba di Indonesia sangat mungkin memulai bercocok tanaman dengan cara melakukan tebas bakar. Kemudian manusia modern yang keluar pertama dari Afrika melalui benua Asia masuk ke Indonesia sebagai rumpun besar bangsa Austronesia melalui Pulau Taiwan (Out of Taiwan Theory atau Austonesian Expansion) membawa pengetahuan mengenai bercocok tanaman menetap dengan membuka sawah. Maka padi mulai dibudidayakan sebagai padi sawah dan dipadukan dengan perladangan tebas bakar sebagai padi ladang. Semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebakan perladangan tebas bakar menjadi semakin sulit dilakukan sehingga mereka mulai bercocok tanam tanaman semusim secara menetap sehingga sistem pertanian tegalab dimulai. Selanjutnya mereka tinggal mengelompok membangun sistem pekarangan dengan menanam tanaman semusim dan tanaman campuran secara bersama-sama sebelum kemudian. Sistem pekarangan mereka perluas untuk membangun kebun campuran tanaman semusim dan tanaman aneka buah tahunan asli Indonesia seperti durian, kelapa, mangga, nangka, pisang, dsb. dan tanaman rempah asli Indonesia seperti lada, pala, dsb. sebelum kemudian seiring dengan masuknya tanaman perkebunan seperti kina, kopi, teh, dsb., pada masa penjajahan Belanda mulai mengembangkan sistem perkebunan rakyat.

Gambar 10.4. Pusat perkembangan pertanian setelah Revolusi Pertanian Pertama di Dataran Sumber Bulan Sabit 11 ribu tahun lalu, Datan Sungai Yangtze dan Sungai Kuning di Tiongkok pada 9000 tahun lalu, Dataran Tinggi Papua Nugini pada 9000-6000 tahun lalu, Mexico Tengah, Bagian Utara Amerika Selatan, danAfrika Sub-Sahara pada 6000-4000 tahun lalu, dan Amerika Utara pada 4000-3000 tahun lalu. Sumber: Diamond & Bellwood (2003).

Gambar 10.5. Migrasi Keluar Taiwan pada 6500-3500 SM mula-mula ke arah Selatan menuju Filipina dan dari Filipna ke Arah Timur dan Tenggara menuju pulau-pulau di Samudera Pasifik dan ke arah Barat dan Barat Daya sampai di Pulau Madagascar di lepas pantai Africa. Sumber: History Learning

Perubahan dari perladangan tebas bakar ke sistem pertanian menetap tentu saja memerlukan tenaga dan teknologi. Mula-mula mereka menggunakan tenaga sendiri, tetapi kemudian karena terasa sangat berat maka mulai menggunakan tenaga hewan, misalnya dengan menjinakkan kerbau dan banteng jawa menjadi sapi yang kemudian kita kenal sekarang sebagai sapi bali. Hewan mula-mula digunakan untuk menghancurkan tanah di sawah dengan cara menggiring ternak ke tengah lahan sawah yang sekarang kita kenal sebagai sistem rencah. Kemudian setelah mereka mengenal bajak, menggunakan ternak untuk membajak lahan sawah maupun lahan tegalan. Seiring dengan semakin luas lahan yang dapat mereka olah maka produksi meningkat sehingga kemudian memanfaatkan ternak untuk mengangkut hasil, termasuk ternak kuda yang mereka bawa dari daratan Asia. Mereka yang sampai di Provinsi NTT menemukan tanah berbatuan yang ditumbuhi oleh hutan berduri sehingga setelah menggunakan api untuk membuka lahan, tidak bisa menggunakan tenaga ternak untuk membajak. Ternak yang merka bawa dipelihara tidak lagi sebagai sumber tenaga untuk mengolah tanah, melainkan hanya untuk memperoleh daging. Karena lahan yang bergunung, gunung, tenaga ternak tidak digunakan untuk mengakut hasil dengan menggunakan pedati, melainkan mengangkut hasil hanya dengan menggunakan kuda.

Pada tempat-tempat yang tersedia sumber air yang mencukupi mereka mengembangkan sistem sawah dengan jaringan irigasi yang sederhana dan pada tempat-tempat dengan sumber air yang terbatas mengembangkan sistem tanaman campuran sederhana sebagaimana misalnya di Timor dikenal sebagai mamar. Pertambahan jumlah penduduk dan kerusakan yang terjadi karena perladangan tebas bakar dilakukan dengan masa istirahat yang singat mendorong berkembangnya sistem pertanian menetap pada tempat-tempat tanpa sumber air. Masyarakat di bawah kelembagaan dan kepemimpinan tradisional di Nusa Tenggara sepertinya tetap melakukan perladangan tebas bakar meskipun telah terjadi Revolusi Pertanian Kedua, yang dimulai di Inggris dan ditandai dengan penggunaan mesin buatan manusia dalam bidang pertanian setelah Revolusi Industri 1.0. Kecuali mungkin di bagian selatan Pulau Flores dan bagian Barat pulau Sumba, terjadi perubahan menjadi pertanian menetap perkebunan rakyat pada masa penjajahan. Baru setelah terjadinya Revoluasi Pertanian Ketiga yang dimulai di Amerika pasca-Perang Dunia II, yang juga dikenal sebagai Revolusi Hijau (Green Revolution) dan ditandai dengan penggunaan teknologi dalam bidang pertanian, kelembagaan dan kepemimpinan modern pasca-kemerdekaan mendorong penggunaan teknologi dalam mengubah perladangan tebas bakar menjadi pertanian menetap. Terjadinya revolusi digital mendorong terjadinya Revolusi Pertanian Keempat, tetapi sejauh manakah Fakultas Pertanian Undana dan kelembagaan maupun kepemimpinan Provinsi NTT bisa memanfaatkannya, masih merupakan tanda tanya besar.

Gambar 10.6. Lini Waktu Revolusi Pertanian sebagai dasar untuk memahami perubahan dari perladangan tebas bakar menjadi pertanian menetap tanpa pembakaran. Sumber: Khan (2023)

Sebagian pihak berpendapat bahwa Revolusi Pertanian Ketiga merupakan lompatan besar yang bagi mereka yang OK gas dan all in (tak perlu berpikir) dapat menyelamatkan manusia modern dari kelaparan. Namun sebagian lainnya mencoba menyikapi Revolusi Pertanian Ketiga secara lebih kritis, melihat bukan hanya keberhasilannya tetapi juga rekam jejak dampak negatif yang ditimbulkannya. Penggunaan benih unggul, pupuk kimiawi, dan pestisida kimiawi terbukti menimbulkan berbagai permasalahan (pencemaran dan kerusakan lingkungan), sebagaimana diuraikan dengan sangat gamblang oleh Rachel Carson, dalam bukunya yang kemudian menjadi best selling, Silent Spring, yang terbit pertama kali pada 1962. Menyikapi perkembangan pertanian modern sebagaimana yang diuraikan tersebut, berkembang apa yang disebut paradigma pertanian, yaitu cara memandang pertanian berdasarkan dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup, sebagai berikut:
  1. Pertanian ekstraktif (extractive agriculture), pertanian dipandang sebagai sistem terbuka yang dikelola secara tertutup, bertujuan untuk mengambil nilai sebesar-besarnya (extract value), melalui pengawasan sistem secara ketat, mengabaikan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan hidup, contoh: pertanian intensif sejak Revolusi Pertanian Kedua (sejak 1700-an) dan terutama setelah Revoluasi Pertanian Ketiga (sejak 1960-an) dalam perkembangan pertanian (agricultural revolution).
  2. Pertanian konservatif (conservative agriculture), pertanian dipandang sebagai sistem terbuka yang dikelola secara terbuka, bertujuan menjaga keberlanjutan nilai (sustain value), melalui pengaturan sistem, dilakukan dengan berkonsultasi dengan masyarakat untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup, contoh: pertanian konservasi (conservation agriculture), pertanian organik (organic farming), pertanian cerdas-iklim (climate-smart agriculture, climate resilient agriculture).
  3. Pertanian positif-neto (net-positive agriculture), pertanian dipandang sebagai subsistem dari ekosistem), bertujuan untuk memulihkan nilai (restore value), melalui pembangunan sistem, dilakukan dengan bekerja sama dengan masyarakat untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup, contoh: permakultur (permaculture), agroekologi (agroecologyagroecology), dan pertanian karbon (carbon farming).
  4. Pertanian regeneratif (regenerative agriculturefarmer-managed natural regenartion), pertanian dipandang sebagai subsistem dari sistem sosial-ekologis, bertujuan untuk memungkinkan terjadinya evolusi nilai (evolve value), melalui evolusi sistem, dilakukan dan dipimpin oleh masyarakat untuk sedapat mungkin meniadakan dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan hidup, contoh: pertanian yang dipraktikkan oleh masyarakat tradisional sebagai cara menjalani hidup (way of life) semisal mamar di Pulau Timor.
Perkembangan paradigma pertanian sebagaimana disebutkan di atas  didasarkan pada pemikiran bahwa pertanian merupakan bagian dari ekosistem (agroecosystem), bukan sekedar sebagai penggunaan teknologi untuk bercocok tanam (agrotecknology). Memandang pertanian sebagai bagian dari ekosistem diharapkan dapat mengubah pertanian menjadi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) melalui pembangunan pertanian yang berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk mewujudkan corak penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihoods). Uraian lebih lanjut mengenai paradigma pertanian dapat diperoleh dari AgFunder NetworkFour Paradigms of Farming, dan dari Soloviev (2021). Di antara keempat tahap paradigma perkembangan pertanian di atas, pertanian di provinsi lahan kering kepulauan NTT terutama baru sampai pada paradigma pertama dan sedang dilakukan upaya untuk meningkat ke paradigma pertanian kedua. Mengapa bisa tertinggal? Pertanian masih dipahami oleh kelembagaan dan kepemimpinan pemerintahan yang berwenang mengambil kebijakan sebatas upaya untuk meningkatkan produksi berbasis komoditas (comodity-oriented) sebagaimana tampak dari program-program pembangunan pertanian yang diluncurkan. Padahal untuk menuju ke paradigma yang lebih tinggi, pembangunan pertanian perlu memperhatikan keseimbangan antar kinerja agroekosistem:
  • Produktivitas: produksi per satuan luas, per satuan modal, per satuan upaya, dsb.
  • Stabilitas: kemampuan untuk mempertahankan produksi dari berbagai gangguan, misalnya gangguan iklim, gangguan organisme pengganggu tumbuhan, gangguan permintaan pasar, dsb.
  • Kelentingan: kemampuan untuk segera memulihkan diri setelah mengalami gangguan
  • Kemerataan: memperhatikan keseimbangan antar berbagai komponen agroekosistem
  • Otonomi: kemampuan untuk menyesuaikan pengembangan pertanian dengan keadaan agroekosistem setempat agar tidak bergantung kepada masukan kimiawi dan kebijakan dari luar.
Untuk menjamin keseimbangan di atas perlu dilakukan analisis agroekosistem (agroecosystem analysis) sebagai dasar pengambilan kebijakan pembangunan pertanian. Agar pengambilan kebijakan pertanian dapat dilakukan berdasarkan analisis agroekosistem, diperlukan kepemimpinan yang trasformasional (transformational leadership), yaitu pola kepemimpinan di bawah seorang pemimpin yang mampu bekerja dalam tim di luar kedekatan pribadi untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan, menciptakan visi untuk memandu perubahan melalui pengaruh, inspirasi, dan melaksanakan perubahan bersama-sama dengan masyarakat. Namun dengan sistem otonomi daerah dan sistem demokrasi yang kita anut sekarang, pola kepemimpinan (leadership model) yang berpeluang besar muncul adalah pola laissez-faire, memimpin dengan membiarkan masyarakat mengerjakan sendiri, atau pola transaksional (transactional leadership), memimpin dengan sekedar memberi imbalan dan hukuman. Namun agar dapat terpilih pemimpin yang transformasional diperlukan masyarakat yang cerdas, yang mampu memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, bukan masyarakat yang sekedar bisa berteriak OK gas dan all in. Dengan sistem pemilihan pemimpinan sebagaimana yang berlaku dan keadaan masyarakat lahan kering kepulauan NTT sekarang ini, entah kapan Provinsi NTT mendapat seorang pemimpin yang transformasional dan entah kapan pembangunan pertanian akan meningkat ke paradigma yang lebih baru. Semua ini menjadi tantangan bagi Anda semua untuk membuktikan, apakah dengan pendidikan maka Anda dapat mewujudkan itu nanti.

Gambar 10.7. Perubahan pertanian menuju ke pertanian dengan paradigma baru memerlukan perubahan paradigma kepemimpinan

Dari Peternakan Umbaran Menjadi Peternakan Ikat/Kandang
Perubahan memerlukan kepemimimpinan transformasional. Kepemimpinan seperti itu pernah terjadi di wilayah pesisir Selatan Kabupaten Kupang yang dikenal sebagai Amarasi (dahulu sebuah kerajaan/kefetoran, berubah menjadi swapraja dan kemudian kecamatan, setelah reformasi dimekarkan menjadi empat kecamatan yaitu Amarasi, Amarasi Timur, Amarasi Selatan, dan Amarasi Barat). Menjelang sampai pada awal kemerdekaan, seorang pemimpin tradisional di Amarasi mampu melakukan perubahan luar biasa: (1) mengajak masyarakatnya menanam lamtoro, jenis tanaman yang bukan merupakan tanaman yang hasilnya bermanfaat secara langsung, dan (2) mengajak ternak sapi yang biasanya memakan rumput menjadi mau memakan daun lamtoro, dan (3) mengajak masyarakatnya untuk mengikat ternak dengan menggunakan daun lamtoro sebagai makanannya. Perubahan ini bisa terjadi karena dipimpimpin oleh seorang raja yang bukan hanya bisa "memberi" materi, yaitu memberi lahan tradisional yang disebut tanah adat untuk digarap oleh rakyatnya, tetapi juga memberi paradigma baru, cara pandang baru mengenai cara beternak yang tidak menimbulkan eksternalitas yang merusak lingkungan. Untuk mengenal bagaimana kelembagaan dan kepemimpinan tradisional di Amarasi, silahkan klik tautan di atas dan baca uraian pada halaman yang tampil.

Gambar 10.8. Peta jaman penjajahan Belanda yang menunjukkan pembagian wilayah Timor Barat menjadi wilayah kefetoran, yang masing-masing dipimpin oleh seorang raja. Perhatikan letak Kefetoran Amarasi di pesisir selatan ujung barat daya Timor Barat, wilayah tersebut sekarang telah menjadi 4 kecamatan: (1) Kecamatan Amarasi, (2) Kecamatan Amarasi Timur, (3) Kecamatan Amarasi Selatan, dan (3) Kecamatan Amarasi Barat.

Perubahan dari peternakan umbaran menjadi peternakan ikat memungkinkan Amarasi menjadi pusat produksi ternak sekaligus pusat produksi pertanian. Lamtoro (Leucaena leucocephala) berkembang dengan cepat karena memproduksi biji dalam jumlah banyak sehingga dengan cepat menutupi lahan yang diistirahatkan setelah dijadikan lokasi ladang selama beberapa tahun. Karena merupakan tumbuhan golongan legum yang membentuk bintil akar (root nodule), maka lamtoro membantu memulihkan kesuburan tanah dengan bantuan bakteri penambat nitrogen (nitrogen-fixing bacteria). Namun sebagaimana halnya pola pertanaman monokultur yang berisiko tinggi dihancurkan oleh organisme pengganggu tumbuhan, lamtoro yang menjadi sangat dominan di Amarasi dihancurkan oleh hama kutu loncat lamtoro (leucaena psyllid, Heteropsylla cubana), setelah hama yang berasal dari Amerika Tengah masuk ke NTT pada 1985, diduga sebagai penumpang gelap pesawat terbang (karena tertarik cahaya lampu). Untuk mengendalikan hama yang sangat merusak tersebut, yang juga merusak lamtoro di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, mula-mula dikendalikan secara mekanik dengan melakukan pemangkasan untuk menguramgi pucuk lamtoro yang diserang oleh kutu loncat dan kemudian secara kimiawi dengan melakukan penyemprotan insektisida dari udara, tetapi tidak berhasil. Kemudian seiring dengan diterapkannya program pengendalian hama terpadu (PHT) di Indonesia, dilakukan pengendalian hayati (biological control) dengan menggunakan kumbang kubah Curinus coeruleus yang didatangkan dari Hawaii, tetapi kumbang kubah memerlukan waktu yang cukup lama sampai akhirnya mampu mengendalikan kutu loncat lamtoro. Selama lamtoro mengalami kerusakan, petani peternak mengalami kesulitan memperoleh pakan sehingga sampi dilepas kembali untuk merumput di padang rumput. Kini setelah lamtoro pulih berkat pengendalian hayati menggunakan kumbang kubah, mengembalikan agar petani peternak kembali memelihara sapi dengan mengikat dan memberi daun lamtoro menjadi pakan sudah menjadi tidak lagi mudah.

Dari Nelayan Paruh Waktu Menjadi Nelayan Penuh
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada corak penghidupan nelayan, ada baiknya Anda membaca laporan Baseline Survey for Regional Fisheries Livelihoods Programme in ... East Nusa Tenggara, yang didasarkan pada survei di Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Alor, dan Kabupaten Rote-Ndao. Hasil survei menunjukkan bahwa dari 29.919 nelayan yang disurvei, 47,7% merupakan nelayan penuh (nelayan sebagai satu-satunya corak penghidupan), 27,0% merupakan nelayan sambilan pokok (nelayan sebagai corak penghidupan pokok, corak penghidupan lain sebagai sambilan), dan 25,3% merupakan nelayan sambilan tambahan (corak penghidupan lain sebagai corak penghidupan pokok. nelayan sebagai corak penghidupan sambilan). Di antara para nelayan tersebut, 41,42% tidak mempunyai perahu, baik itu jukung tanpa mesin, perahu papan, perahu dengan motor tempel, apalagi kapal bermesin. Yang mempunyai kapal bermesin hanya 15,37% yang berarti bahwa kebergantungan kepada pemilik kapal bermesin untuk melakukan penangkapan ikan di perairan lepas pantai masih tinggi. Mengapa hal ini bisa terjadi, apakah karena pemerintah kurang memberikan dukungan kepada para nelayan?

Laporan survei di atas menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kita di lokasi survei telah memberikan dukungan, kurang lebih sama dengan dukungan yang diberikan kepada petani dan peternak. Hanya saja, laporan tidak merinci, dukungan seperti apa yang diberikan. Namun laporan menunjukkan bahwa kelembagaan nelayan masih sangat lemah, rata-rata bukan merupakan kelembagaan yang mapan, mungkin dibentuk karena kebutuhan pelaksanakaan projek dan kelembagaan tidak lagi aktif setelah projek berakhir. Hal ini memberikan indikasi bahwa dukungan mungkin diberikan dalam bentuk bantuan material, bukan dalam bentuk pemberdayaan (empowerment) sebagai proses yang dilakukan secara sengaja dan berkelanjutan dengan berfokus pada masyarakat lokal, melibatkan rasa saling menghormati, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, sehingga setelah melaluinya masyarakat yang tidak memiliki sumber daya menjadi mendapatkan akses dan kendali terhadap sumber daya yang diperlukan untuk penghidupan. Masyarakat juga mengabaikan kearifan ekologis tradisional (traditional ecological knowledge), seperti misalnya larangan menangkap selama waktu tertentu, yang berarti bahwa dukungan yang diberikan mengabaikan aspek ekologis yang penting dalam pembangunan, yaitu sistem sosial-ekologis (social-ecological systems), yang menyatakan bahwa hubungan manusia dengan ekosistemnya bukan hanya soal hubungan menerima dan memberi secara fisik, tetapi juga secara sosial dan budaya.

Mendekat atau Menjauh dari Corak Penghidupan Berkelanjutan?
Setelah membaca materi kuliah ini sampai di sini, apakah Ada di antara Anda yang bertanya, bukankan semua yang sudah kita capai sejauh ini merupakan kemajuan? Bukankah kita harus berpikir positif, bukannya malah pesimis? Senang kalau di antara Anda ada yang sempat bertanya demikian. Namun untuk menjawab pertanyaan, sebaiknya Anda perlu mencari tahu yang namanya kemajuan itu sebenarnya apa dan berpikir positif itu apa. Di dunia luar sana, yang masyarakatnya kritis, bukan cepat-cepat OK gas dan all in, kemajuan itu dimaknai bukan sekedar sebagai hidup lebih makmur dari sebelumnya, bukan sekedar bisa mempunyai mobil daripada hanya mempunyai motor sebelumnya, juga bukan sekedar anak-anaknya semua bergelar sarjana daripada orang tuanya yang tidak bisa kuliah. Kemajuan (progress) sebenarnya merupakan proses sosial yang mencakup kemampuan mengendalikan emosi, kemampuan untuk berinteraksi, kemampuan untuk menjalin hubungan di dalam dan keluar kelompok, kemampuan untuk menentukan arti dan tujuan hidup, dan memahami apa yang merupakan tujuan hidup, bukan hanya untuk diri sendiri melainkan bersama masyarakat. Lalu mengenai berpikir positif, bukan berarti harus menerima begitu saja, melainkan harus mampu berpikir kritis (think critically) terhadap situasi yang Anda hadapi, termasuk ketika Anda membaca materi kuliah ini.

Demikian juga dalam menyikapi pembangunan corak penghidupan (livelihoods), yang dalam materi kuliah ini diuraikan beberapa di antaranya, bukan hanya cara yang dilakukan seseorang untuk menghidupi diri dan keluarganya. Corak penghidupan, menurut Chambers & Conway (1991), merupakan "kemampuan, aset (simpanan, sumber daya, klaim dan akses), dan kegiatan yang dilakukan untuk cara melangsungan hidup secara berkelanjutan, yang berarti harus dapat mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan, mempertahankan atau meningkatkan kemampuan dan aset yang dimiliki, dan tanpa mengambil peluang generasi berikutnya untuk juga dapat melangsungkan kehiidupan; dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap corak penghidupan lain pada tingkat lokal dan global dan dalam jangka pendek dan jangka panjang". Rumit sekali. Ya, kalau tidak terbiasa berpikir, apapun akan menjadi rumit. Intinya sebenarnya adalah kalau membangun pertanian, ukuran kemajuannya tidak hanya berapa besar produksi meningkat, tetapi apakah meningkatnya produksi terjadi bukan karena bantuan saprodi dan apakah juga dialami oleh petani lain, apakah tanpa merusak lingkungan sehingga tidak mengganggu corak penghidupan lainnya (misalnya ternak tidak merusak tanaman) dan lahan tidak mengalami kerusakan sehingga generasi berikutnya masih bisa bertani dengan produksi yang juga tinggi. Jika tidak demikian maka kita bukannya bisa mendekat, melainkan justru menjauh dari corak penghidupan berkelanjutan.

Gambar 10.9. Kerangka kerja corak penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihoods). Sumber: FAO (2003)

Mencapai corak penghidupan berkelanjutan pada lahan kering kepulauan lebih sulit dibandingkan dengan lahan basah. Sebagaimana sudah diuraikan pada materi kuliah sebelumnya, aset penghidupan berupa lahan, termasuk juga laut, dikuasai secara komunal dengan kelembagaan dan kepemimpinan tradisional yang tidak banyak yang transformasional sebagaimana halnya kelembagaan dan kepemimpinan di Amarasi dulu. Kemampuan, yang terdiri atas modal sumberdaya alam, modal manusia, modal peralatan, modal keuangan, dan modal sosial, pada umumnya terbatas. Sementara itu, tekanan dan gangguan yang harus dihadapi lebih berat daripada yang dihadapi di lahan basah, antara lain karena sering terjadi kekeringan. Kelembagaan dan kepemimpinan cenderung bersifat transaksional, belum transformasional, dan proses pemerintahan masih mementingkan struktur (government) daripada tata kelola (governance) dan demokrasi (democracy) dimaknai lebih sebagai proses pemilu daripada proses untuk meningkatkan pelayanan kepada warga. Dalam keadaan demikian, peluang terjadinya konflik dalam corak penghidupan yang sama maupun antar corak penghidupan yang berbeda menjadi tinggi. Apalagi jika kepemimpinan yang transaksional memberikan peluang berkembangnya corak penghidupan yang tidak didasarkan pada analisis agroekosistem. Oleh karena itu, tantangan untuk mengembangkan corak penghidupan berkelanjutan menjadi lebih besar. Tantangan itu yang akan kalian hadapi ke depan.

10.1.2. Mengunduh dan Membaca Pustaka
Silahkan mengunduh pustaka gratis berikut ini dan kemudian membaca bagian yang dicantumkan untuk dibaca untuk memperkaya pemahaman materi kuliah dan mengerjakan laporan kuliah. Setiap mahasiswa wajib membaca pustaka yang berbeda dari yang sudah dibaca pada materi kuliah 6 sampai materi kuliah 9 dengan memilih untuk mengunduh dan membaca salah satu sari pustaka berikut:
Setiap mahasiswa minimal membaca bagian dari salah satu buku di atas untuk dilaporkan melalui Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerhakan Tugas.

10.1.3. Mengerjakan Kuis
Kuis materi kuliah 10 ini dikerjakan bersama-sama dengan mengerjakan kuis materi kuliah 11. Silahkan kerjakan setelah membaca dan mendiskusikan materi kuliah 11. Pada saat memeriksa daftar lembar jawaban kuis, silahkan periksa sendiri berapa nilai yang Anda peroleh. Bila memperoleh nilai <60 berarti Anda belum memahami materi kuliah sehingga perlu membaca kembali kedua materi kuliah. Mahasiswa yang tidak mengerjakan quiz tidak akan memperoleh nilai untuk setiap quiz yang tidak dikerjakan.

10.2. TUGAS PROJEK

Seluruh mahasiswa wajib mengerjakan tugas projek secara kelompok. Silahkan membuka file daftar kelompok mahasiswa dan kemudian menyimpan file dengan mengklik menu File>Download>Microsoft Excel lalu simpan di komputer masing-masing. Selanjutnya silahkan mencari anggota masyarakat dengan corak penghidupan sebagaimana yang diberikan dalam daftar kelompok dan kemudian melakukan diskusi untuk menanyakan hal-hal sebagai berikut:
  1. Perubahan paling penting apakah yang pernah dilakukan oleh narasumber selama menjalani penghidupan sesuai dengan corak penghidupan yang ditugaskan ditugaskan kepada setiap kelompok?
  2. Apa alasan melakukan perubahan, tahun berapa melakukan, dan apakah perubahan berhasil dilakukan sesuai dengan yang diinginkan?
  3. Apakah perubahan dilakukan sendiri atau secara berkelompok dan apakah mendapat bantuan dan/atau pendampingan dari pihak lembaga pemerintah atau non-pemerintah? 
  4. Jika dilakukan tanpa bantuan, bagaimana mengadakan bahan dan alat yang diperlukan dan jika mendapat bantuan, apakah dalam bentuk barang, uang, atau pendampingan dan dari lembaga pemerintah atau lembaga non-pemerintah apa?
  5. Jika belum atau sudah pernah berusaha melakukan perubahan, apakah berkeinginan atau masih berkeinginan melakukan perubahan, apa perubahan yang ingin dilakukan, dan apa alasan ingin melakukan perubahan tersebut?
Lakukan tabulasi jawaban yang diperoleh dari semua narasumber lalu laporkan dengan menggabungkan jawaban semua narasumber secara ringkas. Laporan disampaikan secara daring melalui Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Tugas paling lambat pada Kamis, 11 April 2024 pukul 24.00 WITA

10.3. ADMINISTRASI PELAKSANAAN KULIAH

Setiap mahasiswa wajib menandatangani daftar hadir dan menyampaikan laporan melaksanakan kuliah dan mengerjakan tugas sebagai berikut:
  1. Menandatangani Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah selambat-lambatnya pada Sabtu, 6 April 2024 pukul 24.00 WITA dan setelah menandatangani, silahkan periksa untuk memastikan daftar hadir sudah ditandatangani;
  2. Menyampaikan Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Tugas selambat-lambatnya pada Kamis, 11 April 2024 pukul 24.00 WITA dan setelah memasukkan, silahkan periksa untuk memastikan laporan sudah masuk.
Mahasiswa yang tidak mengisi dan menandatangani Daftar Hadir Melaksanakan Kuliah dan tidak menyampaikan Laporan Melaksanakan Kuliah dan Mengerjakan Tugas akan tidak ditetapkan sebagai hadir melaksanakan kuliah pada situs SIADIKNONA.

***********
Hak cipta blog pada: I Wayan Mudita
Diterbitkan pertama kali pada 20 Maret 2024

Creative Commons License
Hak cipta selurun tulisan pada blog ini dilindungi berdasarkan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Silahkan mengutip tulisan dengan merujuk sesuai dengan ketentuan perujukan akademik.

10 komentar:

  1. Apakah seseorang yang bekerja sebagai petani tapi masih melakukan/mencari mata pencaharian yang lain seperti menangkap ikan atau lainnya masih dpat di sebut sebagai petani ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tergantung mata pencarian mana yang di prioritaskan, Secara umum, seseorang yang bekerja sebagai petani tetapi juga mencari mata pencaharian lain seperti menangkap ikan masih dapat dianggap sebagai petani, terutama jika aktivitas pertanian tetap menjadi sumber utama pendapatannya atau jika dia memiliki kepemilikan dan mengelola lahan pertanian secara aktif.

      Namun, jika aktivitas lain seperti menangkap ikan menjadi mata pencaharian utama dan pertanian hanya dilakukan secara sambilan atau tidak terlalu berarti dalam hal pendapatan atau waktu yang dihabiskan, maka orang tersebut mungkin lebih tepat disebut sebagai nelayan atau pekerja lainnya sesuai dengan mata pencahariannya yang dominan.

      Hapus
    2. Tentu saja, seseorang yang bekerja sebagai petani tetapi juga mencari mata pencaharian lain seperti menangkap ikan masih dapat disebut sebagai petani. Pekerjaan tambahan tersebut mungkin dilakukan untuk menambah penghasilan atau untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari.

      Hapus
  2. apa yang dimaksud dengan "Kelembagaan dan kepemimpinan cenderung bersifat transaksional, belum transformasional, dan proses pemerintahan masih mementingkan struktur (government) daripada tata kelola (governance) dan demokrasi (democracy) dimaknai lebih sebagai proses pemilu daripada proses untuk meningkatkan pelayanan kepada warga."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dalam konteks kelembagaan dan kepemimpinan, lebih banyak fokus pada transaksi daripada transformasi. Transaksi mengacu pada hubungan yang didasarkan pada pertukaran, sedangkan transformasi mengacu pada perubahan yang lebih mendalam dan berkelanjutan. Selain itu, proses pemerintahan lebih menekankan struktur pemerintahan daripada prinsip tata kelola yang baik dan demokrasi yang sehat. Demokrasi dianggap lebih sebagai proses pemilihan umum daripada upaya untuk meningkatkan pelayanan kepada warga. Kenapa demikian karena janji" dan kata" manis yang sempat di lontarkan saat pemilu sering tidak terlaksana dan mereka cuman mementingkan kepentingan pribadi mereka ,seperti korupsi 271 T

      Hapus


  3. Secara umum, seorang petani dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki atau menggarap lahan pertanian dan menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Namun, dalam praktiknya, banyak petani yang tidak hanya mengandalkan pertanian sebagai satu-satunya sumber pendapatan.
    Banyak petani kecil atau subsisten yang juga melakukan aktivitas lain seperti menangkap ikan, berdagang, atau bekerja paruh waktu di luar sektor pertanian untuk menambah penghasilan mereka.Selama aktivitas pertanian masih menjadi mata pencaharian utama dan sumber pendapatan utama bagi seseorang, maka orang tersebut masih dapat disebut sebagai petani, meskipun ia juga melakukan aktivitas ekonomi lainnya. Identitas seorang petani tidak hilang hanya karena ia memiliki sumber pendapatan tambahan di luar sektor pertanian.Jadi,seseorang yang bekerja sebagai petani namun juga melakukan aktivitas lain seperti menangkap ikan, masih dapat disebut sebagai petani selama pertanian tetap menjadi mata pencaharian utamanya.

    BalasHapus
  4. Identitas seorang petani tidak hanya ditentukan oleh aktivitas pertaniannya saja, tetapi juga oleh ketergantungannya pada pertanian sebagai mata pencaharian utama. Jadi, seseorang yang bekerja sebagai petani namun juga melakukan aktivitas lain seperti menangkap ikan masih dapat disebut sebagai petani selama pertanian tetap menjadi sumber pendapatan utamanya.

    BalasHapus
  5. Langkah-langkah seperti mempromosikan praktik pertanian organik, memberikan insentif kepada petani untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan, serta memberdayakan masyarakat lokal dalam diversifikasi penghidupan dapat mendorong transisi menuju keberlanjutan dalam sektor pertanian dan penghidupan lainnya.

    BalasHapus
  6. Apa perbedaan antara corak penghidupan berkelanjutan di lahan kering kepulauan dan lahan basah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perbedaan antara corak penghidupan berkelanjutan di lahan kering kepulauan dan lahan basah antara lain terletak pada kondisi lingkungan dan sumber daya yang tersedia. Di lahan kering kepulauan, terdapat tekanan dan gangguan yang lebih berat, seperti kekeringan, sehingga pengelolaan sumber daya harus lebih diperhatikan. Sementara itu, di lahan basah, mungkin terdapat akses yang lebih mudah terhadap air dan sumber daya lainnya. Hal ini mempengaruhi strategi pengelolaan dan perencanaan corak penghidupan berkelanjutan.

      Hapus