Adi dan kawan-kawannya, mahasiswa universitas terkemuka di Pulau Jawa, melaksanakan KKN di satu desa di Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang. Mereka mulai melaksanakan KKN semester ganjil pada bulan Oktober. Selama melaksanakan KKN, Adi dan kawan-kawannya tinggal di Kantor Desa. Ketika Adi dan kawan-kawan menyampaikan kepada Kepala Desa untuk melakukan pertemuan dengan para petani, Kepala Desa memberikan waktu pada hari Minggu, di gereja seusai kebaktian. Pada pertemuan itu, Adi dan kawan-kawan menyampaikan program KKN yang akan mereka laksanakan bersama warga, melakukan budidaya padi organik. Adi dan kawan-kawan meminta kesediaan warga agar mengizinkan sawahnya sebagai lokasi kegiatan lalu menyepakati waktu untuk melakukan pertemuan langsung di sawah. Warga menyanggupi, tetapi pada hari minggu berikutnya, seusai kebaktian. Selama seminggu menunggu, Adi dan kawan-kawan jarang melihat warga laki-laki di rumah sehingga mencoba menanyakan kepada Kepala Desa, apa yang sebenarnya terjadi. "Dong semua sibuk potong kebun", Kepala Desa menerangkan, "Ada ju yang pi potong daun, kerja tukang, pi tangkap ikan ..." Sebelumnya, Adi dan kawan-kawan sempat berkenalan dengan bahasa Indonesia logat Kupang dari mahasiswa asal Kupang yang kuliah di kampusnya. Begitupun, ia bingung apa itu potong kebun, potong daun, kerja tukang.
Setelah mendapat penjelasan lebih lanjut, Adi dan kawan-kawannya mulai mengerti, megapa para petani sepakat bertemu hanya pada hari Minggu usai kebaktian. Ketika hari Minggu yang dijanjikan tiba, mereka harus menempuh perjalanan jauh ke arah pantai untuk sampai ke lahan persawahan, tetapi setelah sampai mereka menemukan hanya lahan bekas sawah tanpa pengairan. "Di sini kami kerja sawah hanya musim hujan sa", kata seorang warga menjelaskan, "Musim kemarau begini kami sibuk potong kebun, di atas sana." Warga yang memberikan penjelasan menunjuk ke arah lereng bukit di atas lokasi persawahan, lalu melanjutkan, "Sebelum datang hujan, kami bakar dulu, itu kayu yang su kering. Supaya tanah bisa subur, kami son pake pupuk. Hanya abu sisa bakar sa. Kami tanam jagung, deng kacang dan labu ju. Kadang benih kami campur sa, hambur sama-sama dalam satu lobang. Kalau satu tanaman son ada hasil, kami bisa panen yang lain. Kami pulang pi rumah hanya untuk bawa daun, kasi makan ternak. Cari daun su susah, son ada hutan petes [Leucaena leucocephala] lae, su kami tebang untuk bikin kebun, dong semua mati ju, kena makan kutu [kutu loncat Heteropsylla cubana]. Kadang son pulang ju, tidur di rumah kebun, sekalian malamnya tangkap ikan pake sampan dayung. Biar ada hasil, pulang bisa sekalian jual ikan". Melihat yang ada hanya lahan sawah kering dan mendengar penjelasan warga tersebut, Adi dan kawan-kawannya bingung, apakah masih perlu memperkenalkan pertanian organik. (Tanda [] menyatakan keterangan yang terdapat di dalamnya ditambahkan, bukan disampaikan oleh warga).
Kasus 2: Silahkan gunakan untuk menjawab Pertanyaan 7 sampai Pertanyaan 10
Misalkan suatu waktu Anda melakukan perjalanan dari Kupang menuju Pantai Oetune. Silahkan buka layanan Google Maps, aktifkan layer Satellite dan kemudian periksa jalur perjelanan mulai dari Batuputih, setelah jembatan Noel Mina. Setelah melewati Kantor Desa Oebobo, Anda akan menyaksikan lahan persawahan di kanan dan kiri jalan, silahkan periksa peta untuk menentukan dari mana kira-kira areal persawahan tersebut memperoleh pengairan. Silahkan lanjutkan perjalanan sampai melewati Kawasan Besipae, lokasi terjadinya konflik berkepanjangan dalam kaitan dengan rencana Pemerintah Provinsi NTT menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan peternakan modern. Masyarakat berkali-kali melakukan penolakan, sampai-sampai ibu-ibu menanggalkan baju. Sebagai kompromi, Pemprov membangun rumah sederhana untuk menampung warga yang digusur, tetapi tetap ada warga yang menolak karena yang mereka butuhkan bukan rumah, tetapi sumber penghidupan. Pada saat melewati Kawasan Besipae, Anda akan melihat rumah sederhana yang ditolak oleh warga. Kordinator warga akhirnya ditangkap polisi dengan dugaan terlibat kasus penganiayaan terhadap aparatur sipil negara NTT yang datang menyerahkan surat perintah pengosongan lahan.
Setelah melewati Kawasan Besipae, tepat setelah Rumah Nope Gnp, silahkan belok kanan untuk singgah di Desa Linamnutu, di mana Anda dapat menemukan areaal persawahan yang lebih luas dari areal di desa Oebobo. Silahkan periksa dari mana sumber air untuk mengairi areal persawahan tersebut dan sampai di mana saluran irigasinya telah dibangun. Lanjutkan kembali perjalanan menuju Panite sampei bertemu dengan lokasi foto Rata Bena, yang menampilkan hamparan persawahan Dataran Bena yang sangat luas. Pemerintah Provinsi NTT pernah menjadikan lahan persawahan yang luas tersebut sebagai lokasi pelaksanaan program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) untuk mengubah sistem pertanaman jagung dari sistem tebas bakar menjadi sistem pertanian intensif, tetapi ternyata berubah menjadi Tanam Jagung Sapi Panen (TJSP). Hamparan areal persawahan yang luas tersebut biasanya tidak ditanami padi pada musim kemarau, melainkan dibiarkan bera sebagai tempat ternak sapi dilepaskan untuk memakan sisa-sisa tanaman padi dari musim tanam sebelumnya. Pada musim kemarau petani sibuk membukan lahan perladangan tebas bakar sehingga sulit melibatkan mereka dalam pelaksanaan program TJPS. Akibatnya pelaksanaan program TJPS dilakukan sendiri oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT dibantu oleh Pemerintah Kabupaten TTS dan aparat pemerintah kecamatan setempat. Setelah melewati jalan lurus di Dataran Bena berarti Pantai Oetune sudah tidak jauh lagi, silahkan belok kanan setelah melewati Masjid Al-Ikhlas Oehani, melewati jalan di depan SD Inpres Kiufatu. Setelah tiba di Pantai Oetune, silahkan periksa potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan Pantai Oetune sebagai destinasi wisata berkelanjutan.